PENERAPAN SISTEM EKONOMI ISLAM MELALUI KHILAFAH ISLAMIYAH*
Oleh : Muhammad Riza Rosadi**
Problematika Ekonomi dan Solusinya
Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi Kapitalis dalam memandang apa problematika ekonomi manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, problematika ekonomi yang sesungguhnya adalah kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Manusia mempunyai kebutuhan yang beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Dari pandangan tersebut di atas maka sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa problematika ekonomi akan muncul karena adanya kelangkaan barang dan jasa.
Pada sistem ekonomi Kapitalis, pemecahan problematika ekonomi dititikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan sebagai upaya untuk meningkatkan jumlah barang dan jasa. Inilah dasar mengapa sistem ekonomi Kapitalis menitikberatkan pada peningkatkan produksi nasional dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Akibatnya seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini nampak berbagai kebijakan yang sangat berpihak pada para konglomerat dan “mengorbankan” rakyat kecil. Hal ini kerena pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi konglomerasi dan sulit ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.
Bahkan, karena sangat mengagungkan pertumbuhan ekonomi, sistem ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul mengandalkan sektor riil atau pertumbuhan ekonomi tersebut hanyalah semu, yakni mengandalkan sektor non-riil (sektor moneter). Dalam kenyataannya, di dalam sistem ekonomi kapitalis pertumbuhannya lebih dari 85 % di topang oleh sektor non-riil dan sisanya sektor riil. Akibatnya adalah ketika sektor non-ril ini ambruk, maka ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga ambruk. Inilah fenomena yang menimpa negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalis saat krisis ekonomi melanda dunia beberapa dekade terakhir.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problematika ekonomi terjadi jika tidak terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat. Kebutuhan manusia ada yang merupakan kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) dan ada kebutuhan yang sifatnya pelengkap (al hajat al kamaliyat) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia berupa pangan, sandang dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Setiap orang yang telah kenyang makan makanan tertentu maka pada saat itu sebenarnya kebutuhannya telah terpenuhi dan dia tidak menuntut untuk makan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu meskipun hanya beberapa potong saja, maka sebenarnya kebutuhan dia akan pakaian sudah terpenuhi. Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal --meskipun hanya dengan jalan menyewa-- maka sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Dan jika manusia sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
Adapun kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) maka memang pada kenyataannya selalu berkembang terus bertambah seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan peradaban masyarakatnya. Namun perlu ditekankan disini bahwa jika seorang individu atau suatu masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi, maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti. Oleh karena itu anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah tidak tepat sebab ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.
Karenanya permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu barang dan jasa yang ada, kalau sekedar untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi. Namun karena distribusinya sangat timpang dan rusak, maka akan selalu kita temukan – meskipun di negara-negara kaya-- orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka secara layak.
Atas dasar inilah maka persoalan ekonomi yang sebenarnya adalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah-tengah masyarakat. Dan untuk mengatasinya maka sistem ekonomi Islam menerapkan berbagai kebijakan politik ekonomi yang dapat mengatasi persoalan ekonomi, yakni bagaimana memenuhi kebutuhan pokok seluruh individu masyarakat? Dan bagaimana mekanisme distribusi kekayaan agar kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi? Oleh karena itu pada pembahasan makalah ini, kami ingin menekankan pembahasan pada bagaimana penerapan sistem ekonomi Islam melalui khilafah Islamiyyah mengatasi problematika ekonomi.
Politik Ekonomi Khilafah Islamiyyah
Politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan berbagai kebijakan (peraturan dan perundangan) untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai permasalahan ekonomi. Politik ekonomi Islam adalah penerapan berbagai kebijakan yang diambil khilafah Islamiyyah yang menjamin tercapainya pemenuhan semua kebutuhan pokok (primer) tiap individu masyarakat secara keseluruhan, disertai adanya jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan.
Islam memperhatikan pemenuhan kebutuhan setiap anggota masyarakat dengan fokus perhatian bahwa manusia diperhatikan sebagai individu (pribadi), bukan sekedar sebagai suatu komunitas yang hidup dalam sebuah negara. Hal ini berarti Islam lebih menekankan pada pemenuhan kebutuhan secara individual dan bukan secara kolektif. Atau dengan kata lain bagaimana agar setiap individu masyarakat dapat memenuhi seluruh kebutuhan pokok sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan mereka sehingga dapat memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier). Hal ini berarti yang menjadi tolok ukur adalah apakah masih ada individu masyarakat yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya atau tidak ? Bukan sekedar tingkat taraf hidup secara kolektif yang diukur dari rata-rata kesejahteraan seluruh anggota masyarakat (GNP).
Kebijakan Khilafah Islamiyyah dalam Pemenuhan Kebutuhan Pokok Masyarakat
Kebutuhan pokok (primer) dalam pandangan Islam mencakup kebutuhan terhadap barang berupa pangan, sandang dan papan serta kebutuhan terhadap jasa berupa keamanan, pendidikan dan kesehatan. Sistem ekonomi Islam menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) setiap warga negara Islam secara menyeluruh baik kebutuhan yang berupa barang maupun jasa.
Barang-barang berupa pangan, sandang dan papan (perumahan) adalah kebutuhan pokok (primer) manusia yang harus dipenuhi. Tidak seorangpun yang dapat melepaskan diri dari kebutuhan tersebut. Adapun dalil yang menunjukkan bahwa ketiga kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan pokok adalah nash-nash yang berkenaan dengan pangan, sandang dan papan (perumahan). Allah SWT berfirman :
“Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik…” (QS. Al-Baqarah :233)
Firman-Nya juga :
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di tempat kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu…” (QS. At-Thalaq : 6)
Az-Zein (1981), mengutip hadits Rasulullah saw yang bersabda : “Anak Adam tidak mempunyai kebutuhan selain dari sepotong roti untuk menghilangkan laparnya, seteguk air untuk meredakan dahaganya dan sepotong pakaian untuk menutup ‘auratnya. Dan lebih dari itu adalah keutamaan.”
Nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits di atas menunjukkan dengan jelas, bahwa kebutuhan pokok adalah kebutuhan yang tiga tersebut. Selain dari barang yang tiga tersebut merupakan kebutuhan pelengkap (kamaliyat).
Demikian juga dengan kebutuhan jasa berupa keamanan, kesehatan dan pendidikan. Ketiganya merupakan kebutuhan jasa asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Dijadikannya keamanan sebagai salah satu kebutuhan terhadap jasa yang pokok mudah dipahami, sebab tidak mungkin setiap orang dapat menjalankan seluruh aktivitasnya terutama aktivitas yang wajib seperti kewajiban ibadah, kewajiban bekerja, kewajiban bermuamalat secara Islami termasuk menjalankan aktivitas pemerintahan sesuai dengan ketentuan Islam tanpa adanya keamanan yang menjamin pelaksanaannya. Untuk dapat melaksanakan semua ini, maka haruslah ada jaminan keamanan bagi setiap warga negara.
Demikian pula dengan kesehatan, tidak mungkin setiap manusia dapat menjalani berbagai aktivitas sehari-hari tanpa di mempunyai kesehatan yang cukup untuk melaksanakannya. Karena kesehatan juga termasuk ke dalam kebutuhan jasa yang pokok yang harus dipenuhi setiap manusia.
Adapun dalil yang menunjukkan bahwa keamanan dan kesehatan adalah salah satu kebutuhan jasa pokok adalah sabda Rasulullah saw : “Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman jiwanya, sehat badannya dan disampingnya ada makanan hari itu, maka seakan-akan dunia ini telah dikumpulkan baginya.” (Al-Hadits)
Sedangkan dalil yang menunjukkan bahwa jasa pendidikan adalah merupakan kebutuhan pokok, adalah karena tidak mungkin manusia mampu mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia, terlebih lagi di akhirat kecuali dia memiliki ilmu pengetahuan yang diperlukan untuk mencapai kesejahteraan tersebut. Dalam hal ini Rasululah saw bersabda :
“Barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) dunia hendaklah ia mempunyai ilmu, barangsiapa yang menginginkan (kebahagiaan) akhirat hendaklah ia mempunyai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (kebahagiaan dunia dan akhirat) maka hendaklah ia mempunyai ilmu.” (Al-Hadits)
Rasulullah SAW bersabda: “Mencari ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim dan muslimah” (HR Thabrani)
Strategi Politik Ekonomi Khilafah Islamiyyah
Sistem ekonomi Islam telah menetapkan suatu strategi politik yang harus dilaksanakan agar pemenuhan tersebut dapat berjalan dengan baik. Secara garis besar strategi pemenuhan kebutuhan pokok dibedakan antara pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang dengan kebutuhan pokok berupa jasa. Pengelompokkan ini dilakukan karena terdapat perbedaan antara pelaksanaan jaminan pemenuhan kebutuhan pokok antara kebutuhan yang berbentuk barang dengan yang berbentuk jasa.
Untuk pemenuhan kebutuhan pokok yang berupa barang Islam memberikan jaminan dengan mekanisme tidak langsung, yakni dengan jalan menciptakan kondisi dan sarana yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan tersebut. Sedangkan berkaitan dengan kebutuhan jasa pokok dipenuhi dengan mekanisme langsung, yakni negara secara langsung memenuhi kebutuhan jasa pokok tersebut.
(1). Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Barang (Pangan, Sandang dan Papan)
Hukum Islam telah menjamin tercapainya pemenuhan seluruh kebutuhan pokok (primer) warga negara secara menyeluruh, seperti sandang, pangan dan papan. Caranya dengan mewajibkan bekerja kepada setiap laki-laki yang mampu bekerja, sehingga dia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya sendiri, berikut kebutuhan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggungannya. Kalau orang tersebut sudah tidak mampu bekerja, maka Islam mewajibkan kepada anak-anaknya serta ahli warisnya untuk memenuhi kebutuhan primernya. Bahkan Islam juga mewajibkan kepada tetangganya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan pokok tetangganya. Jika orang-orang yang wajib menanggung nafkahnya tidak ada atau tidak mampu, baru negaralah melalui baitul mal yang wajib memenuhinya.
Untuk menjamin terlaksananya strategi pemenuhan kebutuhan pokok pangan, sandang dan papan, maka Islam telah menetapkan beberapa hukum yang berperan untuk melaksanakan strategi tersebut. Adapun strategi pemenuhan kebutuhan tersebut dilaksanakan secara bertahap, sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan strategi tersebut. Adapun tahap-tahap strategi tersebut adalah :
Memerintahkan kepada setiap kepala keluarga untuk bekerja.
Agar semua kebutuhan pokok (primer) tersebut bisa terpenuhi secara menyeluruh serta dimungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan pelangkap (sekunder dan tersier), maka barang-barang kebutuhan yang ada harus bisa diperoleh oleh manusia sehingga mereka dapat memenuhi seluruh kebutuhan-kebutuhan tersebut. Islam mendorong manusia agar bekerja, mencari rizki dan berusaha. Islam telah menjadikan hukum mencari rezeki tersebut adalah fardhu. Banyak ayat dan hadits yang telah memberikan dorongan dalam mencari nafkah. Allah SWT berfirman :
“Dialah (Allah)yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya, serta makanlah sebagian rezeki-Nya.” (QS. Al-Mulk : 15)
Firman-Nya juga :
“…Maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah :10)
Firman-Nya yang lain :
“Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan izin-Nya, dan supaya kamu dapat mencari sebagian karunia-Nya dan mudah-mudahan kamu bersyukur” (QS. Al-Jatsiyah :12)
Untuk memotivasi agar setiap orang mau bekerja, maka Islam menjelaskan bahwa bekerja adalah aktivitas yang sangat mulia. Bekerja menurut Islam adalah aktivitas yang sangat mulia dan orang-orang yang sibuk bekerja mendapat kedudukan yang mulia di sisi Allah SWT. Rasulullah saw bersabda :
“Tidaklah seorang di antara kamu, makan suatu makanan lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri” (HR. Baihaqi)
Tidak hanya kedudukan yang mulia, Islam telah menetapkan bahwa bekerja dengan sungguh-sungguh merupakan aktivitas yang dapat menghapus dosa-dosa yang tidak bisa dihapus oleh aktivitas ibadah utama sekalipun. Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda :
Barangsiapa pada malam hari merasakan kelelahan dari upaya keterampilan kedua tangannya pada siang hari maka pada malam itu ia diampuni.” (HR. Ahmad)
Rasulullah saw juga bersabda :
“Sesungguhnya diantara perbuatan dosa ada dosa yang tidak bisa terhapus oleh (pahala) shaum dan Shalat. Ditanyakan pada beliau : ‘Apakah yang dapat menghapuskannya, Ya Rasulullah ?” Jawab Rasul saw: “Bekerja (kesusahan) dalam mencari nafkah penghidupan”(HR. Abu Nu’aim)
Di dalam hadits lain yang serupa diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
“Sesungguhnya di antara perbuatan dosa ada dosa yang tidak bisa terhapus (ditebus) dengan pahala shalat, zakat (shadaqah) atau haji namun hanya dapat ditebus dengan bekerja (kesusahan) dalam mencari nafkah penghidupan.” (HR. At-Thabrani)
Al-Badri (1992) mengatakan, bahkan Rasulullah saw pernah “mencium” tangan Sa’ad bin Mu’adz ra tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Mu’adz kemudian Rasululllah saw bersabda : “(Ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta’aala” (Al Hadits)
Demikianlah, kita banyak menemukan ayat-ayat dan hadits-hadits yang semuanya mendorong agar bekerja dan mencari rezeki serta bekerja untuk memperoleh harta kekayaan. Islam telah mengarahkan bahwa motif dan alasan bekerja adalah dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Dan tujuan bekerja adalah untuk mendapatkan harta agar seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, menikmati kesejahteraan hidup dan perhiasan dunia. Namun agar aktivitas bekerja ini juga bernilai ibadah, maka pekerjaan yang dilakukan tersebut haruslah pekerjaan yang halal.
Islam mewajibkan bekerja kepada tiap orang serta memerintahkan mereka memanfaatkan kekayaan yang mereka peroleh. Semuanya ini dalam rangka mewujudkan kemajuan taraf ekonomi dalam suatu negara, sekaligus memenuhi kebutuhan pokok (primer) setiap orang, serta memberikan kesempatan kepada orang tersebut agar bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya (sekunder dan tersier).
Nash-nash di atas juga memberikan penjelasan kepada kita, bahwa pada mulanya pemenuhan kebutuhan pokok dan upaya meningkatkan kesejahteraan hidup manusia adalah tugas individu itu sendiri, yakni dengan “bekerja”.
(2) Negara menyediakan lapangan pekerjaan agar setiap orang yang mampu bekerja dapat memperoleh pekerjaan
Jika orang-orang yang wajib bekerja telah berupaya mencari pekerjaan, namun ia tidak memperoleh pekerjaan sementara ia mampu bekerja dan telah berusaha mencari pekerjaan tersebut, maka negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan atau memberikan berbagai fasilitas agar orang yang bersangkutan dapat bekerja untuk mencari nafkah penghidupan. Sebab, hal tersebut memang menjadi tanggung jawab negara. Rasullah saw bersabda :
“Seorang Imam adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat), dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tersebut dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah saw pernah memberikan dua dirham kepada seseorang, kemudian beliau saw berkata kepadanya :
“Makanlah dengan satu dirham, dan sisanya belikanlah kapak, lalu gunakanlah ia untuk bekerja.” (Al-Hadits)
Al-Badri (1992), menceritakan bahwa suatu ketika Amirul Mukminin, Umar bin Khathab ra. memasuki sebuah masjid di luar waktu shalat lima waktu. Didapatinya ada dua orang yang sedang berdoa kepada Allah SWT. Umar ra lalu bertanya :
“Apa yang sedang kalian kejakan, sedangkan orang-orang di sana kini sedang sibuk bekerja?, Mereka menjawab :“Ya Amirul Mukminin, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bertawakal kepada Allah SWT.” Mendengar jawaban tersebut, maka marahlah Umar ra, seraya berkata :“Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Kemudian Umar ra. mengusir mereka dari mesjid namun memberi mereka setakar biji-bijian. Beliau katakan kepada mereka :“Tanamlah dan bertawakallah kepada Allah.”
Dari sinilah, maka para ulama menyatakan bahwa wajib atas Waliyyul Amri (pemerintah) memberikan sarana-sarana pekerjaan kepada para pencari kerja. Menciptakan lapangan kerja adalah kewajiban negara dan merupakan bagian tanggung jawabnya terhadap pemeliharaan dan pengaturan urusan rakyat. Itulah kewajiban yang telah ditetapkan secara syar’iy, dan telah diterapkan oleh para pemimpin Negara Islam (Khilafah Islamiyyah), terutama di masa-masa kejayaan dan kecemerlangan penerapan Islam dalam kehidupan.
(3) Memerintahkan kepada setiap ahli waris atau kerabat terdekat untuk bertanggungjawab memenuhi kebutuhan pokok orang-orang tertentu, jika kepala keluarganya sendiri tidak mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang menjadi tanggungannya
Jika negara telah menyediakan lapangan pekerjaan dan berbagai fasilitas pekerjaan, namun seorang individu tetap tidak mampu bekerja sehingga dan tidak mampu mencukupi nafkah anggota keluarga yang menjadi tanggungjawabnya, maka kewajiban nafkah itu dibebankan kepada para kerabat dan ahli warisnya, sebagaimana firman Allah SWT :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf. Seorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan ahli warispun berkewajiban demikian…”(QS. Al-Baqarah :233)
Ayat Al-Qur’an di atas menjelaskan bahwa adanya kewajiban atas ahli waris. Seorang anak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya (yang tidak mampu) untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Maksud “al waarits” pada ayat tersebut, bukanlah hanya orang yang telah mendapat warisan semata, tetapi semua orang yang berhak mendapat warisan dalam semua keadaan. Rasulullah saw telah bersabda :
“Kamu dan hartamu adalah untuk (keluarga dan) bapakmu.” (HR. Ibnu Majah)
Anak berkewajiban menafkahi kedua orang tua mereka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
“Dan berbuat baiklah kepada kedua ibu bapak.” (QS. An-Nisaa : 36)
Selain itu kewajiban kerabat yang mempunyai pertalian darah (mahram) untuk menfakahi kerabatnya itu didasarkan pada firman-Nya :
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf… dan ahli waris pun berkewajiban demikian. “ (QS. Al-Baqarah : 233)
Rasulullah saw bersabda : “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu dan saudara perempuanmu, kemudian kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh, kerabatmu yang jauh.” (Al-Hadits)
Jika ada yang mengabaikan kewajiban nafkah kepada orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, sedangkan ia berkemampuan untuk itu, maka negara berhak memaksanya untuk memberikan nafkah yang menjadi kewajibannya. Hukum-hukum tentang nafkah ini telah banyak diulas panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh Islam.
Mewajibkan kepada tetangga terdekat yang mampu untuk memenuhi sementara kebutuhan pokok (pangan) tetangganya yang kelaparan
Jika seseorang tidak mampu memberi nafkah terhadap orang-orang yang menjadi tanggungjawabnya, baik terhadap sanak keluarganya atau mahramnya, dan iapun tidak memiliki sanak kerabat atau mahram yang dapat menanggung kebutuhannya, maka kewajiban pemberian nafkah itu beralih kepada baitul mal (negara). Namun sebelum kewajiban tersebut beralih kepada negara, dalam rangka menjamin hak hidup orang-orang yang tidak mampu tersebut, maka Islam juga telah mewajibkan kepada tetangga dekatnya yang muslim untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan pokok orang-orang tersebut, khususnya berkaitan dengan kebutuhan pangan untuk menyambung hidup. Dalam hal ini Rasulullah saw pernah bersabda :
“Tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, tidak beriman kepadaku, orang yang pada malam hari tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahui hal tersebut.” (HR. Al-Bazzar)
Meskipun demikian, bantuan tetangga itu tentunya hanya bersifat sementara sehingga tetangganya tidak meninggal karena kelaparan. Namun untuk jangka panjang, maka negara yang berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Sebab memang negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya.
(5) Negara secara langsung memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan dari seluruh warga negara yang tidak mampu dan membutuhkan.
Menurut Islam negara (baitul mal) berfungsi menjadi penyantun orang-orang lemah dan butuh, sedangkan pemerintah adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya. Dalam hal ini negara akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyat yang menjadi tanggungannya. Dalam rangka memenuhi kebutuhan pokok individu masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya secara sempurna –baik karena mereka telah berusaha namun tidak cukup (fakir dan miskin) ataupun terhadap orang-orang yang lemah dan cacat yang tidak mampu untuk bekerja--maka negara harus menempuh berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Negara dapat saja memberikan nafkah baitul mal tersebut berasal dari harta zakat yang merupakan kewajiban Syar’iy, dan diambil oleh negara dari orang-orang kaya, sebagaimana firman Allah SWT :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka…” (QS. At-Taubah :103)
Juga firman-Nya :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para aamil (pekerja zakat), para muallaf yang diikat hatinya, …” (QS. At-Taubah: 60)
Jika kas negara dari sumber zakat masih kurang, negara tetap berkewajiban menutupi kekurangan itu dari harta benda Baitul Mal yang bukan berasal dari harta zakat. Rasulullah saw bersabda :
“Tidak ada seorang Muslim pun, kecuali aku bertanggungjawab padanya di dunia dan akhirat. Lalu Rasulullah saw membacakan firman Allah SWT : “Para nabi itu menjadi penanggungjawab atas diri orang-orang beriman.” Rasul selanjutnya bersabda : “Oleh karena itu, jika seorang mukmin mati dan meninggalkan harta warisan, silahkan orang-orang yang berhak mendapatkan warisan mengambilnya. Tetapi jika dia mati dan meninggalkan hutang atau orang-orang yang terlantar, maka hendaknya mereka datang kepadaku, sebab aku adalah penanggung jawabnya.” (HR. Pemilik Kitab Shahih yang Enam)
Bukan lagi sesuatu yang mengherankan, bahkan selain bertindak sebagai utusan (Rasul) Allah, beliau SAW pun adalah seorang kepala negara dalam sistem kehidupan, melaksanakan al uqubaat (sanksi-sanksi), menegakkan huduud, mengadakan perjanjian-perjanjian dengan negara-negara tetangga Daulah Islamiyah, menyatakan perang terhadap musuh-musuh Islam, dan menghadapi segala macam intrik yang dilancarkan setiap kepala negara musuh, termasuk juga menjamin kebutuhan masyarakat serta menyelesaikan persoalan ekonomi masyarakat. Beliau SAW bersabda : “Siapa saja yang mati meninggalkan hutang atau ahli waris yang lemah, maka datanglah mereka kepadaku sebab aku adalah menaggungjawabnya.” (Al-Hadits)
Demikianlah, khilafah Islamiyyah harus berbuat sekuat tenaga dengan kemampuannya, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Islam, yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan dan memungkinkan dinikmati oleh setiap individu yang tidak mampu meraih kemaslahatan itu.
Sebagai jaminan akan adanya peraturan pemenuhan urusan pemenuhan kebutuhan tersebut, dan merupakan realisasi tuntutan Syari’at Islam, maka dalam tindakan yang konkrit, Umar bin Khathab ra. telah membangun suatu rumah yang diberi nama “daar ad daqiiq” (rumah tepung). Di sana tersedia berbagai jenis tepung, korma dan barang-barang kebutuhan lainnya, yang tujuannya untuk menolong orang-orang yang singgah dalam perjalanan dan memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, sampai ia terlepas dari kebutuhan itu. Rumah itu dibangun di jalan antara Makkah dan Syam, di tempat yang strategis dan mudah dicari (dicapai) oleh para penyinggah jalan (musafir). Rumah yang sama, juga dibangun di jalan di antara Syam dan Hijaz.
Sistem ekonomi Islam yang diterapkan untuk memenuhi kebutuhan ini diterapkan atas seluruh masyarakat, baik Muslim maupun non-Muslim yang memiliki identitas kewarganegaraan Islam, juga mereka yang tunduk kepada peraturan dan kekuasaan negara (Islam), berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang memberikan penjelasan tentang orang-orang kafir dzimmi : “Mereka (orang-orang kafir dzimmi) mendapat hak apa yang menjadi hak kita, dan mereka mendapatkan (terkena) kewajiban yang sama halnya seperti kita mendapatkan (terkena) kewajiban.”
Orang-orang Non-Muslim telah merasakan bagaimana pengaturan dan jaminan Islam terhadap pemenuhan kebutuhan pokok di bawah naungan daulah Islamiyah. Diceritakan dalam “Kitab Al Kharaj” karangan Imam Abu Yusuf, bahwa Amirul Mukminin, Umar bin Al Khathab ra., melihat seorang Yahudi tua di suatu pintu. Beliau bertanya apakah ada yang aku bantu? Orang Yahudi itu menjawab bahwa ia sedang dalam keadaan susah dan membutuhkan makanan, sementara ia harus membayar jizyah. “Usiaku sudah lanjut”, katanya. Amirul Mukminin berkata : “Kalau begitu keadaanmu, alangkah tidak adilnya perlakuan kami. Karena kami mengambil sesuatu darimu di saat mudamu dan kami biarkan kamu di saat tuamu.”
Setelah kejadian itu Khalifah Umar bi Khathab lalu membebaskan pembayaran jizyah Yahudi tersebut, dan memerintahkan Baitul Maal menanggung beban nafkahnya beserta seluruh orang yang menjadi tanggungannya.
Di masa Khalid bin Walid, terhadap penduduk al Hairah, yang beragama Nasrani dan merupakan ahlu dzimmah. Kepada mereka semua diterapkan suatu kebijakan, bahwa jika ada orang tua yang lemah, tidak mampu bekerja, tertimpa kemalangan, atau ia jatuh miskin, hingga kaummya memberikan sedekah kepadanya, maka ia dibebaskan dari tanggungan jizyah dan ia menjadi tanggungan Baitul Maal kaum muslimin, selama ia tinggal di daarul hijrah atau daarul Islam.
Jika Baitul Maal, yang merupakan kas perbendaharaan negara dalam keadaan krisis, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, maka kewajiban itu beralih kepada seluruh kaum muslimin. Kepada kaum Muslimin dapat dikenakan pajak (dharibah). Pajak hanya di ambil dari kaum Muslimin dan tidak boleh diambil dari orang non-Muslim. Allah SWT berfirman:
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS. Adz Dzariyaat 19)
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya pada harta benda itu ada hak (untuk diambil) diluar zakat.” (HR Tirmidzi)
Karenanya negara berkewajiban mengumpulkan harta benda dari kaum muslimin, mengambil harta benda berlebih dari orang-orang kaya – sebagai kelebihan atas pemenuhan kebutuhan mereka, sebanyak keperluan orang-orang yang memerlukan pemenuhan kebutuhan dan mengatur urusan mereka. Sebab, memang negara memiliki wewenang, secara syar’i, untuk melakukan itu. Allah SWT berfirman:
“… supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu …” (QS. Al Hasyr 7).
Artinya, tidak boleh harta benda hanya berputar di kalangan sekelompok orang, dengan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkannya. Rasulullah SAW telah mengambil sebagian harta milik orang-orang kaya Bani Nadhir dan membagi-bagikannya kepada sahabat Muhajirin yang fakir, berdasarkan firman Allah :
"bagi orang-orang fakir dari kaum Muhajirin”. Beliau saw tidak membagikannya kepada kaum Anshar, padahal mereka penduduk Madinah, kecuali terhadap dua orang Anshar, yaitu Abu Dujanah (Samak bin Khasah) dan Sahal bin Hanif. Padahal, sebenarnya kaum Anshar adalah orang-orang yang juga berhak mendapat bagian. Semua itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW sebagai realisasi pengamalan perintah Allah SWT dam dua ayat terdahulu (ayat 29 surat Al Baqarah dan ayat 7 surat Al Hasyr).
Pengambilan kelebihan harta orang-orang kaya dari kaum muslimin untuk menutupi kebutuhan orang-orang miskin tersebut, semata-mata dilakukan negara jika Baitul Maal tengah dilanda krisis. Tetapi, jika krisis itu telah hilang, dan Baitul Maal dalam keadaan berkecukupan, maka pengambilan itu harus dihentikan.
Itulah hukum-hukum Syari’at Islam, yang memberikan alternatif cara pemenuhan kebutuhan hidup dan mewujudkan kesejahteraan bagi tiap individu masyarakat, dengan cara yang agung dan mulia. Hal itu akan mencegah individu-individu masyarakat yang sedang dililit kebutuhan untuk berusaha memenuhi kebutuhan mereka dengan menghinakan diri (meminta-minta).
2. Jaminan Pemenuhan Kebutuhan Pokok Berupa Jasa (Keamanan, Kesehatan Dan Pendidikan)
Keamanan, kesehatan dan pendidikan, adalah tiga hal yang merupakan kebutuhan asasi dan harus dikecap oleh manusia dalam hidupnya. Berbeda dengan kebutuhan pokok berupa barang (pangan, sandang dan papan), dimana Islam melalui negara menjamin pemenuhannya melalui mekanisme yang bertahap. Maka terhadap pemenuhan kebutuhan pokok berupa jasa yakni keamanan, pendidikan dan kesehatan dipenuhi negara secara langsung kepada setiap individu rakyat. Hal ini karena pemenuhan terhadap ketiganya termasuk masalah “pelayanan umum” (ri’ayatu asy syu-uun) dan kemaslahatan hidup terpenting. Dalam hal ini, khilafahlah yang berkewajiban mewujudkan pemenuhannya terhadap seluruh rakyat. Islam telah menentukan bahwa yang bertanggung jawab menjamin tiga jenis kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Negaralah yang harus mewujudkannya, agar dapat dinikmati seluruh rakyat, baik muslim maupun non-muslim, miskin atau kaya. Sedangkan seluruh biaya yang diperlukan, ditanggung oleh Baitul Maal.
(1). Jaminan Keamanan
Dalil yang menjamin terpenuhinya adanya keamanan tersebut adalah tindakan Rasulullah saw yang bertindak sebagai kepala negara yang memberikan keamanan kepada setiap warga negara (muslim dan kafir dzimmiy) sebagaimana sabdanya :
“Sesungguhnya aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaha illallahu Muhammadur Rasulullah. Apabila mereka telah melakukanya (masuk Islam atau tunduk kepada aturan Islam) maka terpelihara oleh-Ku darah-darah mereka, harta-harta mereka kecuali dengan jalan yang hak. Dan hisabnya terserah kepada Allah. (HR. Bukhari, Muslim dan pemilik sunan yang empat)
Mekanisme untuk menjamin keamanan setiap anggota masyarakat, adalah dengan jalan menerapkan aturan yang tegas kepada siapa saja yang akan dan mengganggu keamanan jiwa, darah dan harta orang lain. Sebagai gambaran kepada siapa saja yang mengganggu keamanan jiwa orang lain, yakni dengan jalan membunuh orang lain, maka orang tersebut menurut hukum Islam harus dikenakan sanksi berupa qishash, yakni hukum balasan yang setimpal kepada orang yang melakukan kejahatan tersebut.
Menurut Al-Maliki (1990), Hukum Islam menetapkan bahwa siapa yang membunuh dengan sengaja maka ia harus dikenakan hukum qishash, dengan jalan dibunuh kembali, atau ahli warisnya dapat menuntut ganti rugi berupa diyat (denda) yang besarnya senilai dengan 100 ekor unta. Bahkan terhadap pembunuhan yang tidak sengajapun akan dikenakan hukuman kepada orang yang telah lalai tersebut.
Demikian juga siapa saja yang mengganggu keamanan harta orang lain dengan jalan mencuri, menggarong atau merampoknya, maka akan dikenakan hukuman yang tegas dan keras. Sebagai gambaran kepada pencurian barang yang besarnya ¼ dinar atau lebih (1 dinar = 4,25 gram emas) atau setara dengan 3 dirham perak, maka Islam menetapkan hukuman potong tangan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksa dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38)
Berkaitan dengan besarnya jumlah percurian banyak hadits Rasulullah saw yang menegaskannya. Rasulullah saw bersabda :
“Potonglah (tangan pencuri), karena mencuri seharga seperempat dinar, dan jangan kamu potong kurang dari harga itu.” (HR. Ahmad)
Masih banyak sekali ketentuan-ketentuan hukum Islam yang menjamin keamanan jiwa, darah dan harta setiap warga negara. Hukum-hukum itu diterapkan dengan tegas adalah dalam rangka mencegah masyarakat untuk tidak berbuat kejahatan.
(2). Jaminan Kesehatan
Menurut Al-Badri (1990), adapun yang berhubungan dengan jaminan kesehatan, diriwayatkan bahwa Mauquqis, Raja Mesir, pernah menugaskan (menghadiahkan) seorang dokter (ahli pengobatan)nya untuk Rasulullah SAW. Oleh Rasulullah SAW, dokter tersebut dijadikan sebagai dokter kaum muslimin dan untuk seluruh rakyat, dengan tugas mengobati setiap anggota masyarakat yang sakit.
Tindakan Rasulullah SAW itu, dengan menjadikan dokter tersebut sebagai dokter kaum muslimin, menunjukkan bahwa hadiah tersebut bukanlah untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, hadiah semacam itu bukanlah khusus diperuntukkan bagi Beliau, tetapi untuk kaum muslimin, atau untuk negara. Demikianlah, pemanfaatan dan penentuan Rasulullah SAW terhadap suatu hadiah yang diterimanya, telah menjelaskan kepada kita bagaimana bentuk hadiah yang bernilai khusus pribadi dan untuk kemaslahatan umum. Juga bagaimana bentuk suatu hadiah yang diberikan kepada kepala negara, wakil atau penggantinya yang hadiah itu masuk ke dalam kekayaan Baitul Maal dan untuk seluruh kaum muslimin.
Pada masa lalu, Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah SAW pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Maal.
Pernah serombongan orang berjumlah delapan orang dari Urairah datang mengunjungi Rasulullah SAW di Madinah. Mereka kemudian menyatakan keimanan dan keislamannya kepada Rasulullah, karena Allah. Di sana, mereka terserang penyakit dan menderita sakit limpa. Rasulullah SAW memerintahkan mereka beristirahat di pos penggembalaan ternak kaum Muslimin milik Baitul Maal, di sebelah Quba’, di tempat yang bernama “Zhi Jadr”. Mereka tinggal di sana hingga sembuh dan gemuk kembali. Mereka diijinkan meminum susu binatang-binatang ternak itu (onta), karena mereka memang berhak.
Dalam buku “Tarikhul Islam as Siyasi” diceritakan bahwa Sayyidina Umar ra telah memberikan sesuatu dari Baitul Maal untuk membantu suatu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam, ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para Khalifah dan wali-wali (para pemimpin wilayah). Bahkan, Khalifah Walid bin Abdul Malik telah khusus memberikan bantuan kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra.
Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibnu Thulun di Mesir, memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman-minuman dan obat-obatan serta, dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.
Jadi, keberadaan dokter di tengah masyarakat, terpecahnya problema kesehatan masyarakat, dan pembangunan sarana atau balai-balai kesehatan, adalah tugas-tugas yang dibebankan Islam terhadap khilafah Islamiyyah. Negaralah yang bertanggung jawab terhadap perwujudan semua itu.
(3). Jaminan Pendidikan
Demikian halnya dengan masalah pendidikan. Ia menjadi tanggung jawab negara untuk menanganinya, dan termasuk kategori kemaslahatan umum yang harus diwujudkan oleh negara agar dapat dinikmati seluruh rakyat. Gaji guru, misalnya, adalah beban yang harus dipikul negara dan pemerintah dan diambil dari kas Baitul Maal.
Rasulullah SAW juga telah menetapkan kebijaksanaan terhadap para tawanan perang Badar. Beliau katakan bahwa para tawanan itu bisa bebas sebagai status tawanan, apabila seorang tawanan telah mengajarkan 10 orang penduduk Madinah dalam baca-tulis. Tugas itu menjadi tebusan untuk kebebasan dirinya.
Kita mengetahui bahwa barang tebusan itu tidak lain adalah hak milik baitul Maal. Tebusan itu nilainya sama dengan harta pembebasan dari tawanan lain dalam perang Badar itu. Dengan tindakan tersebut (yakni membebankan pembebasan tawanan itu ke Baitul Maal dengan cara menyuruh para tawanan tersebut mengajarkan kepandaian baca-tulis), berarti Rasulullah SAW telah menjadikan biaya pendidikan itu setara dengan barang tebusan. Artinya, beliau SAW, memberi upah kepada para pengajar itu dengan harta benda yang seharusnya menjadi milik Baitul maal.
Menurut Al-Badri (1990), Ad Damsyiqy menceritakan suatu kisah dari Al Wadliyah bin atha’, yang mengatakan bahwa di kota Madinah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak. Oleh Khalifah Umar Ibnu Al Khathab, atas jerih-payah itu beliau memberikan gaji kepada mereka sebesar 15 dinar setiap bulan (satu dinar = 4,25 gram emas).
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga masyarakat, berupa pangan, sandang, papan. Demikian juga Islam telah menjamin terselenggaranya penanganan masalah keamanan, kesehatan dan pendidikan.
Dijadikannya semua itu sebagai kewajiban khilafah dan bagian dari tugasnya sebagai pemelihara dan pengatur urusan rakyat. Khilafahlah yang melaksanakan dan menerapkannya berdasarkan syari’at Islam.
Kebijakan Khilafah Islamiyyah dalam Distribusi Kekayaan
Problematika ekonomi akan muncul di tengah masyarakat jika kebutuhan pokok (al-hajatu al-asasiyah) untuk semua individu manusia tidak tercukupi. Dan masalah pemenuhan kebutuhan pokok ini adalah persoalan distribusi kekayaan. Untuk mengatasi persoalan distribusi tersebut harus ada pengaturan menyeluruh yang dapat menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok individu masyarakat, serta menjamin adanya peluang bagi setiap individu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelengkapnya.
Walaupun persoalannya lebih banyak pada masalah distribusi kekayaan, namun bukan berarti persoalan produksi diabaikan. Produksi tentu saja tetap diperlukan, bahkan mutlak harus ada. Tapi, tanpa adanya distribusi yang baik, kekayaan yang dihasilkan itu hanya akan beredar diantara segelintir orang, tidak mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan, dan akhirnya justru menimbulkan kesenjangan dan problema sosial.
Dalam persoalan distribusi kekayaan yang timpang di tengah masyarakat, Islam melalui sistem ekonomi Islam telah menetapkan berbagai mekanisme tertentu yang digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi. Mekanisme distribusi yang ada dalam sistem ekonomi Islam secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok mekanisme, yaitu (1) apa yang di sebut mekanisme ekonomi dan (2) mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme distribusi dengan mengandalkan kegiatan ekonomi agar tercapai distribusi kekayaan. Mekanisme dijalankan dengan jalan membuat berbagai ketentuan dan mekanisme ekonomi yang berkaitan dengan distribusi kekayaan. Dengan sejumlah kebijakan dan ketentuan tentang kegiatan ekonomi tertentu, diyakini distribusi kekayaan itu akan berlangsung normal. Namun jika mekanisme ekonomi tidak dapat atau belum mampu berjalan untuk mengatasi persoalan distribusi, baik karena sebab-sebab alamiah yang menimbulkan kesenjangan, ataupun kondisi-kondisi khusus -- seperti karena bencana alam, kerusuhan-- dan lain sebagainya, maka Islam memiliki sejumlah mekanisme non-ekonomi yang dapat digunakan untuk mengatasi persoalan distribusi kekayaan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan sistem ekonomi Kapitalis yang hanya dan sangat mengandalkan mekanisme harga (pasar) dalam mendistribusikan kekayaan di tengah masyarakat. Mereka percaya bahwa dengan menggenjot produksi, tangan tak kelihatan (the invicible-hand) dalam mekanisme pasar akan mengatur distribusi kekayaan secara rasional. Bila kesejahteraan individu dicapai, resultantenya akan tercipta pula kesejahteraan bersama. Kenyataannya, tangan-tangan tak kelihatan itu tidaklah muncul dengan sendirinya dalam mekanisme pasar. Dengan pola seperti itu, yang terjadi justru yang kaya makin kaya dan yang miskin bertambah miskin. Kesejahteraan bersama menjadi sekadar harapan. Fenomena perkampungan kumuh, getho, atau apapun namanya, yang merupakan kantong-kantong penduduk miskin di tengah gemerlapnya kota metropolitan di berbagai belahan dunia sebagai bentuk kesenjangan ekonomi yang sangat mencolok, merupakan bukti sangat nyata dari kegagalan sistem distribusi yang sekadar mengandalkan mekanisme pasar. Tangan tak kelihatan yang diharapkan itu ternyata tidak dengan sendirinya muncul.
Tegasnya, distribusi kekayaan secara merata ternyata tidak bisa dilakukan bila hanya mengandalkan mekanisme ekonomi saja (itupun banyak kegiatan seperti berbagai jenis kegiatan ribawi, judi, korupsi, pungli dan lain sebagainya yang bila dicermati justru menimbulkan hambatan terhadap lancarnya distribusi kekayaan. Maka mestinya harus ada pula mekanisme non ekonomi yang dapat diterapkan untuk mengatasi persoalan distribusi.
1. Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi yang ditempuh Sistem Ekonomi Islam dalam rangka mewujudkan distribusi kekayaan diantara manusia yang seadil-adilnya, adalah dengan sejumlah cara, yakni:
(1) Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan (asbabu al-tamalluk) dalam kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah).
Menurut An-Nabhaniy (1990), Islam telah menetapkan sebab-sebab tertentu dimana seseorang dapat memiliki harta yang berkaitan dengan kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah) yakni (1) bekerja; (2) warisan; (3) kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup; (4) harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat; dan (5) harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
Membuka kesempatan kerja seluas-luasnya bagi seluruh anggota masyarakat adalah salah satu bentuk distribusi kekayaan melalui mekanisme ekonomi. Salah satu upaya yang lazim dilakukan manusia untuk memperoleh harta kekayaan adalah dengan bekerja. Islam telah menetapkan adanya keharusan “bekerja” bagi manusia khususnya bagi kepala keluarga. Oleh karena itu “bekerja” menurut Islam adalah sebab pokok dan mendasar yang memungkinkan manusia memiliki harta kekayaan.
Az-Zein (1981) mengatakan bahwa dengan menelaah hukum-hukum syara’ yang menetapkan bentuk pekerjaan tersebut, tampaklah jelas, bahwa bentuk-bentuk pekerjaan yang disyari’atkan, sekaligus dapat dijadikan sebagai sebab kepemilikan harta adalah pekerjaan-pekerjaan sebagai berikut : (a) bekerja disektor jasa (ijarah); (b) bekerja sebagai broker/makelar (samsarah); (c) bekerja sebagai pengelola (Mudharib) pada perseroan (syarikah) mudlarabah; (d) bekerja mengairi lahan pertanian (musaqat); (e) berburu; (f) menghidupkan tanah mati; dan (g) menggali kandungan bumi.
Agar berbagai jenis pekerjaan yang telah ditetapkan tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan lapangan pekerjaan serta membuat berbagai ketentuan yang memudahkan setiap orang menjalankan pekerjaan tersebut.
(2) Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan kepemilikan (tanmiyatu al-milkiyah) melalui kegiatan investasi.
Pengembangan Kepemilikan (tanmiyatu al-milkiyah) adalah suatu mekanisme yang dipergunakan seseorang untuk menghasilkan tambahan kepemilikan tersebut. Karenanya Islam mengemukakan dan mengatur serta menjelaskan suatu mekanisme untuk mengembangkan kepemilikan. Dari sinilah maka pengembangan kepemilikan itu harus terikat dengan hukum-hukum tertentu yang telah di buat oleh As-Syari’ dan tidak boleh melampau ketentuan-ketentuan syara’ tersebut.
Dalam masalah pengembangan kepemilikan, Syara’ telah menjelaskan garis-garis besar tentang mekanisme yang dipergunakan untuk mengembangkan kepemilikan, disamping juga menyerahkan rincian hukumnya kepada para mujtahid agar mereka menggali hukum-hukumnya secara rinci berdasarkan pada nash-nash yang menjelaskan tentang mekanisme tersebut serta berdasarkan pemahaman terhadap fakta yang ada. Dengan demikian syara’ telah menjelaskan berbagai muamalah dan transaksi-transaksi yang dapat digunakan untuk mengembangkan kepemilikan sekaligus juga menjelaskan berbagai muamalah dan transaksi-transaksi yang tidak boleh dilakukan dalam rangka mengembangkan kepemilikan. Dalam hal ini Islam memiliki hukum-hukum tentang pertanian, perdagangan, dan industri.
Kalau kita teliti segala macam bentuk harta kekayaan yang ada dalam kehidupan, maka dapat kita kelompokkan menjadi tiga macam, yaitu (1) harta berupa tanah; (2) harta yang diperoleh melalui pertukaran dengan barang (jual beli); dan (3) harta yang diperoleh dengan cara merubah bentuknya dari satu bentuk ke bentuk yang berbeda (produksi). Dari sinilah kita ketahui teknik yang umumnya digunakan orang-orang mengembangkan untuk harta kekayaan adalah dengan jalan melaksanakan aktivitas pertanian, perdagangan dan industri. Yang kesemuanya ditujukan dalam rangka meningkatkan produktivitasnya.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa Islam menghalalkan kaum muslimin bergerak dalam bidang pertanian, perdagangan dan perindustrian dengan catatan-catatan tertentu. Dalam masalah pertanian, prinsip hukum Islam adalah pada hukum-hukum yang berhubungan dengan pertanahan. Seseorang yang menghidupkan tanah yang mati, bahkan baru membukanya saja, berhak memiliki tanah tersebut. Namun jika ia terlantarkan tanah itu lebih dari tiga tahun, maka lahan tersebut diambil alih oleh negara dan diberikan kepada siapa saja yang siap mengolahnya, alias memproduktifkannya. Diriwayatkan bahwa Umar r.a. pernah mendatangi Bilal bin Harits Al-Mazimi yang pernah mendapat sebidang tanah yang luas dari Rasulullah saw. sambil berkata:
"Wahai Bilal, engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memberikan kepadamu. Dan Rasulullah tidak pernah menolak sama sekali untuk dimintai, sementara engkau tidak mampu (menggarap) tanah yang ada di tanganmu". Bilal menjawab, "Benar". Umar Berkata, "Lihatlah, mana di antara tanah itu yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami, dan kami akan membagikannya kepada kaum muslimin" (An-Nabhaniy, An-Nizhamul Iqtishadiy fil Islam, hal 141).
Sedangkan dalam jual beli, Allah SWT jelas telah menjelaskan hukum jual-beli, hukum-hukum yang berkaitan dengan syirkah serta hal-hal yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Dalam masalah jual beli Allah SWT berfirman :
"Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan harta sesama kalian dengan jalan yang bathil, melainkan dengan jalan perdagangan yang berlaku suka sama suka di antara kalian" (QS. An-Nisaa : 29)
Demikian pula dalam menjelaskan hukum-hukum perseroan (syirkah), maka Islam menjelaskan macam-macam syirkah yang dibenarkan didalam Islam seperti Syarikah Inan, Abdan, Mudharabah, Wujuh dan Syarikah Mufawadhah disertai dengan berbagai ketentuan yang harus diikuti.
Adapun dalam masalah perindustrian, baik industri kecil maupun besar, hukumnya mubah. Kaum muslimin boleh membuat baju, mobil, pesawat terbang dan barang apa saja yang boleh dimanfaatkan. Berkaitan dengan ini semua Islam telah menjelaskan berbagai hukum yang berkaitan dengan masalah ajiir dan produksi. Sedangkan masalah hasil produksi atau barang-barang yang telah dihasilkan termasuk dalam masalah perdagangan. Diriwayatkan dari Anas r.a. yang berkata:
"Nabi saw. telah membuat cincin" (HR. Bukhari).
Juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Beliau saw. menyuruh seorang wanita agar anaknya (tukang kayu) membuat mimbar, sandaran tempat duduk dari mimbar Beliau.
Oleh karena itu, pengembangan kepemilikan tersebut terikat dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan syara’, yaitu hukum-hukum seputar pertanahan, hukum-hukum jual-beli, perseroan serta hukum-hukum yang terkait dengan ijaratul-ajiir dan produksi. Karenanya pengembangan kepemilikan dalam bidang pertanian, perdagangan, maupun industri bisa dilakukan secara perorangan maupun secara bersama dalam suatu syarikat. Bila suatu usaha berskala besar, maka lazimnya dilakukan dalam suatu syarikat. Jika seseorang memiliki modal tetapi tak punya waktu buat mengelolanya maka dianjurkan bagi untuk menyerahkan kepada orang lain yang bekerja sama dengannya, mengelola hartanya agar berkembang, dalam syarikah mudharabah. Apapun bentuk syarikah yang disahkan oleh Islam (syarikah inan, mudharabah, dan 'abdan), insya Allah, barakah lantaran dijamin oleh Allah SWT sebagaimana sabda Rasulullah saw dalam hadits qudsy:
"Aku adalah pihak ketiga (Yang Maha Melindungi) bagi dua orang yang melakukan syirkah, selama salah seorang di antara mereka tidak berkhianat kepada temannya (syariknya). Apabila di antara mereka ada yang berkhianat, maka Aku akan keluar dari mereka (tidak melindungi)." (HR. Ad-Daruquthni)
(3) Larangan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
Al-Badri (1992) menjelaskan bahwa Islam mengharamkan menimbun harta benda walaupun telah dikeluarkan zakatnya, dan mewajibkan pembelanjaan terhadap harta tersebut, agar ia beredar di tengah-tengah masyarakat sehingga dapat diambil manfaatnya. Penggunaan harta benda itu dapat dilakukannya dengan mengusahakannya sendiri ataupun berserikat dengan orang lain dalam suatu pekerjaan yang tidak diharamkan. Dengan tegas Al-Qur’an telah melarang usaha penimbunan harta, baik emas maupun perak, karena keduanya merupakan standar mata uang. Allah SWT berfirman:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berilah mereka kabar gembira dengan siksaan yang pedih ” (QS At-Taubah 34)
Imam Thabari mengatakan berdasarkan sanad dari Abu Umamah “Ketika seseorang Ahlus Shuffah yaitu orang-orang yang menempati satu bagian dari masjid Nabawi, meninggal dunia dan di bawah selimutnya ditemukan satu dinar uang emas, Rasulullah SAW bersabda: “ Satu gosokan (api akan menimpanya nanti di hari kiamat).” “Kemudian ketika ada lagi yang meninggal dan ditemukan dua dinar uang emas, Nabi SAW bersabda: “Dua gosokan.” Rasulullah SAW mengambil isyarat pemahaman dari Ayat Al-Qur’an:
“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (QS At Taubah 34).
Di dalam ayat berikutnya Allah SWT menegaskan :
“pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : ‘Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS. At-Taubah : 35)
(4) Membuat kebijakan agar harta beredar secara luas serta menggalakkan berbagai kegiatan syirkah dan mendorong pusat-pusat pertumbuhan.
Islam memerintahkan agar harta benda beredar di seluruh anggota masyarakat, dan tidak hanya beredar di kalangan tertentu, sementara kelompok lainnya tidak mendapat kesempatan. Caranya adalah dengan menggalakkan kegiatan investasi dan pembangunan infrastruktur. Untuk merealisasikan hal ini, maka negara akan menjadi fasilitator antara orang-orang kaya yang tidak mempunyai waktu dan kesempatan untuk mengelola dan mengembangkan hartanya dengan para pengelola yang profesional yang modalnya kecil atau tidak ada. Mereka dipertemukan dalam kegiatan perseroan (syirkah).
Selain itu negara dapat juga memberikan pinjaman modal kepada orang-orang yang memerlukan modal usaha. Dan tentu saja pinjaman yang diberikan tanpa dikenakan bunga ribawi. Bahkan kepada orang-orang tertentu dapat saja diberikan modal usaha secara cuma-cuma sebagai hadiah agar ia tidak terbebani untuk mengembalikan pinjaman.
Cara lain yang dilakukan oleh negara untuk mendorong pusat-pusat pertumbuhan ekonomi adalah dengan membuat dan menyediakan berbagai fasilitas seperti jalan raya, pelabuhan, pasar dan lain sebagainya. Juga membuat kebijakan yang memudahkan setiap seorang membuat dan mengembangkan berbagai macam jenis usaha produktif.
(5) Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
Islam melarang terjadinya monopoli terhadap produk-produk yang merupakan jenis kepemilikan individu (private property). Sebab dengan adanya monopoli, maka seseorang dapat menetapkan harga jual produk sekehendaknya, sehingga dapat merugikan kebanyakan orang. Bahkan negara tidak diperbolehkan turut terlibat dalam menetapkan harga jual suatu produk yang ada di pasar, sebab hal ini akan menyebabkan terjadinya distorsi pasar. Islam mengharamkan penetapan harga secara mutlak. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari Anas ra. Yang mengatakan :
“Harga pada masa Rasulullah saw mengalami kenaikan sangat tajam (membumbung). Lalu mereka melaporkan : ‘Wahai Rasulullah, kalau seandainya harga ini engkau tetapkan (niscaya tidak membumbung seperti ini). Beliau saw menjawab : ‘Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha menciptakan, Yang Maha Menggenggam, Yang Maha Melapangkan, Yang Maha Memberi Rizki, lagi Maha Menentukan Harga. Aku ingin mengadap ke hadirat Allah, sementara tidak ada satu orang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya, dalam masalah harta dan darah.”
Imam Abu Daud meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. yang mengatakan :
“Bahwa ada seorang laki-laki datang lalu berkata : ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini.’ Beliau menjawab : ‘(Tidak) justru, biarkan saja.’ Kemudian beliau didatangi laki-laki yang lain lalu mengatakan : ‘Wahai Rasulullah, tetapkanlah harga ini.’ Beliau menjawab: ‘(Tidak) tetapi Allah-lah yang berhak menurunkan dan menaikkan.”
Hadits-hadits ini menunjukkan haramnya penetapan harga, dimana penetapan harga tersebut merupakan salah satu bentuk kezaliman yang harus dihilangkan. Larangan penetapan harga bersifat umum untuk semua jenis barang, tanpa dibedakan antara bahan makanan pokok dengan yang tidak.
Meskipun demikian terhadap produk-produk yang termasuk kepemilikan umum, Islam membolehkan adanya monopoli oleh negara. Namun monopoli oleh negara bukan berarti negara dapat menetapkan harga seenaknya demi mengejar keuntungan semata. Namun negara justru berkewajiban menyediakan berbagai produk tersebut dengan harga semurah mungkin.
Hal lain yang juga dilarang oleh Islam adalah adanya upaya memotong jalur pemasaran yang dilakukan oleh pedagang perantara, sehingga para produsen terpaksa menjual pruduknya dengan harga sangat murah, padahal harga yang berlaku di pasar tidak serendah yang mereka peroleh dari pedagang perantara. Diriwayatkan oleh Abdullah Ibn Umar ra. ia berkata :
“Kami pernah keluar menyambut orang-orang yang datang membawa hasil panen dari luar kota lalu kami membelinya dari mereka. Rasulullah saw melarang kami membelinya sampai hasil panen tersebut dibawa ke pasar.” (HR. Bukhari)
Menurut riwayat Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda :
“Janganlah kamu keluar menyambut orang-orang yang membawa hasil panen ke dalam kota kita.” (HR. Bukhari)
(6) Larangan kegiatan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa.
Judi dan riba menyebabkan uang hanya akan bertemu dengan uang (bukan dengan barang dan jasa), dan beredar diantara orang kaya saja. Karena Islam melarang serta mengharamkan aktivitas tersebut. Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (memimum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS. Al-Maidah : 90)
Berkenaan dengan riba maka Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 278)
Sementara korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa mengakibatkan harta hanya beredar di antara orang-orang yang sudah berkecukupan. Hal ini tentunya akan menyebabkan rusaknya sistem distribusi kekayaan. Berkaitan dengan suap-menyuap Rasulullah saw bersabda :
“Allah SWT melaknat penyuap, penerima suap dan yang menjadi perantara terjadinya suap-menyuap.” (HR. Ahmad)
Bahkan seorang pejabat yang telah menduduki jabatan tertentu dilarang menerima hadiah dari pihak manapun. Al-Khatib dalam kitabnya berjudul “Talkhishul-Mutasyabih” mengetengahkan sebuah hadits berasal dari Anas ra bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“Hadiah yang diberikan kepada para pejabat adalah suht (haram)”
Demikian tidak diperbolehkan seorang pegawai atau pejabat yang sedang mengerjakan tugasnya menerima komisi, sementara dia telah mendapatkan gaji dari pekerjaannya ini. Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa yang telah kami pekerjakan untuk melakukan suatu tugas dan kepadanya telah kami berikan rizki (yakni imbalan atas jerih payahnya), maka apa yang diambil olehnya selain itu adalah kecurangan.” (HR. Abu Daud)
(7) Pemanfaatan secara optimal (dengan harga murah atau cuma-cuma) hasil dari barang-barang (SDA) milik umum (al-milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Dengan dioptimalkannya pengelolaan dan pemanfaatan harta-harta yang menjadi milik umum, maka hasilnya dapat didistribusikan kepada seluruh masyarakat secara cuma-cuma atau dengan harga yang murah. Dana yang sebelumnya dibelanjakan untuk mendapatkan barang-barang yang menjadi milik umum seperti air atau listrik dan lain-lain, bisa digunakan untuk keperluan lain bagi peningkatan kualitas hidupnya.
Bila semua kegiatan mulai dari sebab-sebab kepemilikan, pemanfaatan kepemilikan dan sejumlah larangan menyangkut beberapa kegiatan ekonomi yang dalam sistem ekonomi kapitalis dianggap wajar dilaksanakan, Insya Allah akan tercipta distribusi kekayaan diantara manusia dengan sebaik-baiknya. Artinya, distribusi akan berlangsung normal, dan rakyat akan merasakan kesejahteraan bersama.
2. Mekanisme Non-Ekonomi
Didorong oleh sebab-sebab tertentu yang bersifat alamiah, misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam, dimungkinkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki faktor-faktor tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan tidak akan berjalan karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti derap kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan begitu saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjut, bisa memicu munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi sosial.
Untuk mengatasinya, Islam menempuh berbagai cara. Pertama, meneliti apakah mekanisme ekonomi telah berjalan secara normal. Bila terdapat penyimpangan, misalnya adanya monopoli, hambatan masuk (barrier to entry) baik administratif maupun non-adminitratif dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan. Bila semua mekanisme ekonomi berjalan sempurna, tapi kesenjangan ekonomi tetap saja terjadi, Islam menempuh cara kedua, yakni melalui mekanisme non-ekonomi. Cara kedua ini bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi tersebut antara lain :
(1) Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
Pemberian harta milik negara kepada orang-orang yang dinilai memerlukan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka. Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah ketika memberikan harta fa’i Bani Nadhir hanya kepada orang-orang Muhajirin saja, tidak kepada orang Anshar kecuali hanya dua orang saja, Abu Dujanah Samak bin Khurasah dan Sahal bin Hunaif, yang kebetulan dua orang itu memang miskin sebagaimana umumnya orang Muhajirin. Mengapa Rasulullah hanya memberikan harta fa’i itu kepada orang Muhajirin? Agar, “harta itu tidak hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu” (QS. Al-Hasyr 7). Ayat ini merupakan illah (al-amru al-ba’itsu ‘ala al-hukmi – perkara yang menjadi landasan munculnya hukum), bagi tindakan penyeimbangan ekonomi yang dilakukan oleh negara manakala terjadi ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat dengan cara memberikan apa yang menjadi milik negara kepada orang-orang tertentu yang memerlukan.
Pemberian harta negara tersebut adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup rakyat atau agar rakyat dapat memanfaatkan pemilikan mereka. Pemenuhan kebutuhan tersebut dapat diberikan secara langsung ataupun tidak langsung dengan jalan memberikan berbagai sarana dan fasilitas sehingga individu dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Mengenai pemenuhan kebutuhan hidup contohnya negara memberi kepada individu mayarakat yang mampu menggarap lahan pertanian namun tidak mempunyai lahan tersebut maka negara akan memberikan lahan yang menjadi milik negara kepada individu yang tidak mempunyai lahan tersebut. Atau negara memberikan harta kepada individu yang mempunyai lahan namun tidak mempunyai modal untuk mengelolanya. Contoh lain adalah negara dapat memberikan harta yang dimilikinya kepada individu yang mempunyai hutang namun tidak mampu melunasinya agar mereka dapat melunasi hutang-hutang mereka.
Umar bin Khaththab r.a. telah memberikan kepada para petani di Irak, harta dari baitul mal yang bisa membantu mereka untuk menggarap tanah pertanian serta memenuhi hajat hidup mereka tanpa meminta imbalan dari mereka. Kemudian syara’ juga memberikan hak kepada mereka yang mempunyai hutang berupa harta zakat. Mereka akan diberi dari bagian zakat tersebut untuk melunasi hutang-hutang mereka, apabila mereka tidak mampu membayarnya.
Selain dipergunakan untuk kepentingan individu masyarakat yang membutuhkan, maka negara dapat juga memberikan harta milik umum untuk memenuhi kebutuhan jama’ah (masyarakat). Dalam rangka memenuhi kebutuhan suatu komunitas (jama’ah), maka negara dapat saja mengambil dan memanfaatkan hak milik individu. Negara dapat saja mengambil hak milik individu tersebut dari harta yang dimiliki oleh individu tetapi tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya atau seseuatu yang tidak ada yang memilikinya. Misalnya negara dapat mengambil tanah yang tidak ada pemiliknya, seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw ketika berada di Madinah. Abu Bakar dan Umar juga pernah mengambil tanah semacam ini, sebagaimana yang juga pernah dilakukan oleh Zubeir, dengan mengambil sebidang tanah yang luas sekali. Dia mengambilnya untuk menjadi padang gembalaan kudanya di tanah mati yang airnya melimpah. Dia juga mengambil sebidang tanah yang ditumbuhi pepohonan dan kurma. Sebagaimana para khulafaur rasyidin sepeninggal mereka juga telah mengambil tanah untuk kaum muslimin.
Dengan adanya pengambilan oleh negara yang kemudian diberikan kepada individu (iqtha’) tersebut, maka tanah yang telah diambil oleh negara –-untuk diserahkan kepada individu-– tadi adalah menjadi hak milik orang yang bersangkutan. Sebab bila kepemilikan tersebut dibutuhkan oleh suatu jama’ah, maka hakikatnya kepemilikan tersebut adalah untuk dimanfaatkan, dan memberikan kemudahan bagi manusia agar bisa memanfaatkannya, lalu dengan adanya sebab kepemilikan ini, ia bisa membantu aktivitas fisik dan psikis komunitas (jama’ah) tersebut.
(2) Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik
Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada mustahik adalah bentuk lain dari mekanisme non-ekonomi dalam hal distribusi harta. Zakat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan oleh para muzakki. Dalam hal ini, negara wajib memaksa siapapun yang termasuk muzakki untuk membayarkan zakatnya. Allah SWT berfirman :
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan mendoa’ah untuk mereka. Sesungguhnya do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah : 103)
Dengan kegiatan yang bersifat memaksa ini, akan terjadi peredaran harta tidak melalui mekanisme ekonomi dari orang-orang kaya kepada, khususnya orang-orang miskin. Dari harta zakat tersebut kemudian dibagikan kepada golongan tertentu, yakni delapan ashnaf seperti yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an. Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil-amil zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jihad fisabilillah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah : 60).
Jadi, zakat adalah ibadah yang berdampak ekonomi, yakni berperan sebagai instrumen distribusi kekayaan diantara manusia.
(3) Pemberian harta waris kepada ahli waris.
Ketika mati, orang meninggal itu tidak lagi memiliki hak apa-apa atas badan dan hartanya. Badannya menjadi hak hukum syara’ untuk memperlakukannya (yakni dikuburkan), dan hartanya menjadi hak ahli waris dengan cara pembagian yang telah ditetapkan. Sekalipun harta itu menjadi milik mayit, tapi ketika mati ia tidak berhak memberikan kepada siapa saja sesuka dia. Wasiat menyangkut harta kepada selain ahli waris hanya diperbolehkan paling banyak sepertiga bagian saja. Dengan cara ini akan berlangsung peredaran harta milik mayit kepada para ahli warisnya. Dan ahli waris bisa mendapatkan harta tanpa melalui mekanisme ekonomi biasa.
Individu ahli waris dapat memperoleh harta dengan jalan mendapatkan warisan. Dalil yang menunjukkan hal ini adalah nash Al-Qur’an yang penunjukkan maknanya qathiy. Waris mempunyai hukum-hukum tertentu yang sifatnya tauqifi, yakni suatu ketentuan hukum yang bersifat tetap dari Allah SWT. Hukum waris juga tidak disertai illat (sebab ditetapkan hukum) apapun. Nash-nash Al-Qur’an telah menjelaskan hukum-hukum waris dalam bentuk rinci : Allah SWT telah menyatakan dalam firmannya :
“Dan Allah SWT mensyariatkan bagimu (pembagian harta pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak wanita, dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan.” (QS. An-Nisaa: 11)
(4) Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
Adanya hubungan pribadi antara seseorang dengan orang lainnya dapat menyebabkan adanya saling memberi dan menolong sesama mereka. Sehingga seseorang dapat saja memperoleh harta karena adanya hadiah, hibah sedekah dan lain-lain dari orang lain. Bahkan karena adanya hubungan tersebut dapat saja seseorang mendapatkan harta dari orang lain bahkan setelah orang tersebut meninggal misalnya karena adanya wasiat yang diberikan.
Dengan adanya hadiah, hibbah atau wasiat tersebut, maka seseorang bisa memiliki benda yang dihadiahkan, atau yang dihibahkan, ataupun yang diwasiatkan dan kepemilikan seperti ini adalah sah menurut Islam. Melalui kegiatan yang sangat dianjurkan ini, akan terjadi peredaran atau distribusi kekayaan diantara manusia melalui mekanisme non-ekonomi. i.
(5) Ganti rugi berupa harta terhadap kejahatan yang dilakukan seseorang kepada orang lain.
Distribusi harta dapat juga terjadi karena adanya ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang menimpa seseorang. Seseorang bisa mendapatkan harta tanpa harus mengeluarkan curahan harta tenaga karena dia mendapatkan ganti rugi sebagai akibat kemudharatan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Misalnya diyat, yaitu tebusan yang merupakan ganti rugi dari pelaku kejahatan kepada penderita karena karena dilukai orang. Demikian juga jika seseorang terbunuh oleh orang lain maka keluarganya berhak mendapatkan diyat jika dia tidak mau membalasnya dengan melakukan qishash atas pembunuh. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
”Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin, karena keliru (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya.” (Q.s. An-Nisa’: 92)
Imam An-Nasai telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW telah menulis sepucuk surat kepada penduduk Yaman. Surat itu dikirim melalui Amru bin Hazem, yang di dalamnya tertulis :
“Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu ada diyat sebesar seratus unta.” (HR. An-Nasai)
Adapun dalil tentang diyat luka –-karena dilukai orang-– adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam An-Nasai dari Az-Zuhri dari Abu Bakar bin Muhammmad bin Amru bin Hazem dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Rasulullan SAW telah menulis sepucuk surat kepadanya :
”Dan terhadap hidung, apabila diambil batangnya, maka ada diyat (kompensasi) untuknya; terhadap lidah ada diyat; terhadap dua bibir ada diyat; terhadap dua biji mata ada diyat; terhadap kemaluan ada diyat; terhadap tulang rusuk ada diyat; terhadap dua mata ada diyat; terhadap satu kaki ada setengah diyat; terhadap otak sepertiga diyat; terhadap bagian tubuh ada sepertiga diyat; dan terhadap persendian ada lima belas unta.” (HR. An-Nasai)
Maka, dengan adanya diyat tersebut, orang tersebut kemudian memperoleh harta yang dia dapatkan dari diyat orang yang terbunuh, atau diyat organ tubuh ataupun fungsi-fungsi organ yang dilenyapkan. Dan ini adalah salah satu mekanisme distribusi harta secara non-ekonomi.
(6) Distribusi harta melalui penguasaan barang temuan.
Salah satu bentuk distribusi harta secara non-ekonomi adalah penguasaan seseorang atas harta temuan (luqathah). Sehingga apabila ada seseorang telah menemukan suatu barang di jalan atau disuatu tempat umum, maka harus diteliti terlebih dahulu : Apabila barang tersebut memungkinkan untuk disimpan dan diumumkan, semisal emas, perak, permata dan pakaian, maka barang tersebut harus disimpan dan diumumkan untuk dicari siapa pemiliknya. Jika selama dalam pengumuman ada pemiliknya yang datang maka harta tersebut harus diserahkan. Tetapi jika tidak ada yang datang atau tidak ada yang dapat membuktikan bahwa harta tersebut memang miliknya, maka harta temuan tersebut menjadi milik orang yang menemukan dan harus dikeluarkan khumus (1/5) dari harta tersebut sebagai zakatnya. Hal ini sesuai dengan riwayat Abu Daud dari Abdullah bin Amru bin Ash, bahwa Nabi SAW pernah ditanya tentang harta temuan :
“Barang yang ada di jalan atau kampung yang ramai itu tidak termasuk luqathah, sehingga diumumkan selama satu tahun. Apabila pemiliknya datang untuk memintanya, maka berikanlah barang tersebut kepadanya. Apabila tidak ada, maka barang itu adalah milikmu. Dan di dalam ‘Al-kharab’ (barang tersebut), maksudnya di dalamnya, serta di dalam rikaz (harta temuan) terdapat ‘khumus’ (seperlima dari harta temuan untuk dizakatkan).” (HR. Abu Daud)
Apabila barang temuan tersebut milik orang yang sedang menunaikan ibadah haji (ihram), maka tidak dianggap luqathah yang boleh dimiliki. Sebab, barang temuan dari orang ihram itu hukumnya haram. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam hadits yang diriwayatkan dengan sanad dari Abdurrahman bin Utsman, bahwa Rasulullah SAW melarang luqathah milik haji. Juga tidak diperbolehkan mengambilnya, selain menyimpan untuk kemudian diserahkan kepada pemiliknya.
Melalui mekanisme ekonomi dan non-ekonomi, Islam telah memberikan dasar-dasar pembentukan sistem ekonomi yang kuat dan adil. Dengan sistem ini, ekonomi akan tumbuh secara mengesankan sekaligus merata. Karena pemerataan dilakukan bersama dengan pertumbuhan yang dihasilkan dalam kegiatan ekonomi tersebut. Jadi, mekanisme pemerataan in-heren atau built-in dalam mekanisme pertumbuhan.
Khatimah
Demikianlah sedikit gambaran tentang berbagai penerapan sistem ekonomi Islam yang telah dijalankan oleh Rasul saw dan para khalifah sesudahnya. Kebijakan yang sama pula akan dijalankan oleh khalifah ketika khilafah Islamiyyah tegak dalam waktu dekat ini. Kebijakan ekonomi yang dapat menjamin terpecahkannya berbagai problematika ekonomi yang pokok. Telah terbukti dalam sejarah berita yang menyebutkan bahwa diterapkannya sistem ekonomi Islam telah menyebabkan kemakmuran yang merata di seluruh masyarakat.
Sebagai bukti apa yang pernah terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Walaupun pemerintahannya hanya berlangsung beberapa tahun, namun berhasil menciptakan kesejahteraan yang mengagumkan. Pada masa itu tidak ada seorangpun dari anggota masyarakat yang mau dan berhak menerima zakat. Adanya kelompok penerima zakat indikator utama apakah suatu negara atau masyarakat telah betul-betul sejahtera. Wallahu’alambishawwab
DAFTAR BACAAN :
1. Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Penerbit Darul Bayariq. Aman.
2. Abdurrahman al Maliki. 1963. As-Siyasah al-Iqtishadiyyah al-Mutsla..
3. Al-‘Assal, A.M dan Fathi Ahmad Abdul Karim. 1999. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam (Terjemahan). Penerbit CV. Pustaka Setia.
4. Al-Baghdady. A. 1987. Serial Hukum Islam : Penyewaan Tanah Lahan; Kekayaan Gelap; Ukuran Panjang, Luas, Takaran dan Timbangan (Terjemahan). Penerbit. Al-Ma’arif. Bandung.
5. Al-Baghdadi. A. R. 1996. Sistem Pendidikan di Masa Khilafah Islam. Penerbit Al-Izzah. Bangil-Jatim.
6. Al-Badri, A. A. 1992. Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam (Terjemahan). Penerbit Gema Insani Press. Jakarta.
7. Al-Malikiy, A.R. 1990. Nizhamul Uqubaat. Penerbit Darul Ummah. Baerut-Lebanon.
8. An-Nabhaniy, T. 1990. An-Nizham Al-Iqtishadi Fil Islam. Penerbit Darul Ummah. Bairut.
9. Az-Zein, S. A. 1981. Syari’at Islam : Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial sebagai Studi Perbadingan (Terjemahan). Penerbit Husaini. Bandung.
10. Bakri, H.M.K. 1986. Hukum Pidana dalam Islam (cetakan ke-2). Penerbit CV. Ramadhani. Solo.
11. Chapra, M. U. 1999. Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer (Terjemahan). Penerbit Risalah Gusti. Surabaya.
12. Mannan, M.A. 1993. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Penerbit PT. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
13. Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi : Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta.
14. Qardhawi, Y. 1995. Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan. (Terjemahan). Penerbit. Gema Insani Press. Jakarta.
15. Qureshi. A.I. 1985. Islam and The Theory of Interest. (Terjemahan). Penerbit Titamas. Jakarta.
16. Rahman. 1995. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II (Terjemahan). Penerbit Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta.
17. Zallum, A. Q. 1963. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Penerbit Hizbut Tahrir. Baerut.
18. Zallum, A. Q. 1983. Al-Amwaal fi Daulatil Khilafah. Penerbit Darul Ilmu lil Malayiin. Baerut-Lebanon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar